Kisah Perempuan Madiun Jadi Mata-Mata saat Agresi Militer Belanda
Masa penjajahan Belanda menjadi salah satu bagian tragis dari sejarah bangsa Indonesia. Ingatan mengenai kisah kelam itu membuat sebagian saksi sejarah mengutuki penjajahan yang biadab tersebut.
Kisah-kisah mengenai perlawanan masyarakat Indonesia kepada kolonial Belanda juga asyik disimak. Rangkaian ingatan kejadian-kejadian pada era penjajahan atau awal Indonesia merdeka sudah banyak diutarakan dalam buku maupun diskusi.
Salah satunya Harmini, seorang perempuan asli Madiun yang sempat mengalami masa-masa mencekam saat Agresi Militer Belanda II pada 1948. Harmini merupakan anak dari Sudji Rahayu, seorang perempuan mata-mata untuk tentara Kantong atau gerilyawan perang pada masa itu.
Ia merangkai ingatan-ingatannya sewaktu masih berusia delapan tahun pada masa agresi militer II di wilayah Madiun kemudian dituliskannya dalam sebuah buku berjudul Aku Adalah Bunga, Aku Adalah Baja.
Di buku tersebut, Harmini bercerita mengenai dirinya yang dijadikan pengantar pesan oleh ibunya kepada pejuang-pejuang Tanah Air. Harmini tinggal bersama keluarganya di rumah kecil dengan pekarangan luas berdinding bambu kusam di Jl. Monginsidi No. 10 (sekarang Jl. Halmahera) Madiun.
Rumahnya ini berdekatan dengan Bosbow atau markas tentara Belanda di Jl. Diponegoro, Madiun. Di Bosbow ada ratusan tentara berkulit putih, bermata biru, dan sebagian tentara KNIL berkulit hitam legam serta berwajah garang.
Ibunya telah sempurna mendidiknya sebagai perempuan tangguh dan pemberani sehingga tanpa disangka, perempuan kelahiran Madiun, 9 Mei 1940, itu dijadikan mata-mata untuk memberikan informasi rahasia kepada gerilyawan di Madiun tanpa kentara. Pernah suatu kali, ibunya menyelipkan sepucuk kertas di lipatan rok yang dikenakannya.
Kertas berisi pesan itu pun lolos dari penjagaan tentara Belanda sehingga kertas itu lolos dan diterima Mbok Minah. "Jadi saya waktu itu tidak tahu sedang dijadikan spionase oleh ibu saya dan pengirim pesan kepada gerilyawan," kata dia seusai melakukan bedah buku Aku adalah Bunga, Aku adalah Baja di Perpusatakaan Umum Kota Madiun, Sabtu (21/4/2018).
Melalui pesan yang disampaikannya pula, segepok kina (obat malaria) berhasil diselundupkan dengan dimasukkan ke pepaya muda yang dikerok isinya. Kemudian, dia membawa pepaya muda berisi kina itu dan berhasil bebas dari pengawasan tentara Belanda.
Suatu ketika, penyamaran ibunya yang juga seorang penerjemah bahasa Belanda-Indonesia itu ketahuan tentara Belanda. Belanda pun marah dan berniat menghabisi ibunya. Namun, aksi tersebut tidak sampai terjadi dan keluarganya berhasil selamat dari cengkeraman Belanda.
Harmini baru sadar dirinya dimanfaatkan ibunya sebagai mata-mata setelah dewasa. Kala itu, Harmini yang sudah menjadi guru SMA di Kota Madiun ingin mengikuti lomba menulis dan teringat memiliki pengalaman yang luar biasa.
Kemudian Harmini menuliskan potongan-potongan ingatan itu dan sampai pada kesimpulan bahwa kala berusia belia dia sudah menjalankan misi berbahaya menembus batas pertahanan militer Belanda demi sebuah pesan dari gerilyawan.
Melalui bukunya, Harmini mengajak generasi muda untuk mencintai Tanah Air Indonesia. Jangan sampai negara ini terpecah belah dengan isu apa pun.
Buku ini dicetak terbatas dan disebarkan melalui komunitas-komunitas sejarah dan komunitas membaca yang ada di Madiun. Buku ini juga menjadi juara II lomba penulisan naskah nonfiksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur tahun 1993.
Sumber : Madiunpos
Follow instagram : @kita_madiun
Komentar
Posting Komentar