Jejak Sejarah Ki Ageng Mangir di Saradan Madiun.




Dalam sejarah  tradisi sastra lisan,  misteri tragedi Ki Ageng Mangir selalu saja mengundang pembicaraan, dan sering dipentaskan dalam lakon ketoprak.
Masyarakat Jawa menganggap Ki Ageng Mangir adalah tokoh sejarah yang legendaris., bahkan sering dianggap sebagai Pahlawan. Sebenarnya, Mangir sendiri adalah nama sebuah tanah perdikan, sedangkan nama asli Ki Ageng Mangir adalah Ki Ageng Wanabaya yang menjadi tokoh lokal pada tanah perdikan Mangir.

Menyebut nama Mangir tak bisa dipisahkan dari nama Pembayun, putri Panembahan Senopati. Dalam kisah yang dituturkan secara turun temurun,  Pembayun yang dijadikan penjerat hati  Mangir sebagai musuh Mataram, dan pada  akhirnya justru menjadi istri Mangir. Dengan menyamar sebagai penari ledhek, pengamen keliling, hati Mangir yang kokoh sinatria bertekuk lutut dalam pelukan cinta Pembayun, sebagaimana kisah-kisah asmara yang melahirkan sejarah-sejarah besar di dunia. Barangkali pernyataan  hegel yang legendaris, bahwa dunia ini terbentuk  karena adanya dialektika historis, bisa juga ditambahkan karena adanya dialektika “amoris” atau asmara.

Sejarah Ki Ageng  Mangir adalah kisah kekuasaan sekaligus kisah tragedi asmara. Kisah yang mempunyai ending penuh derai air mata, karena Ki Ageng mangir harus meninggal di tangan Panembahan Senopati  (meskipun kebenaran sejarah akan terus berubah,seiring adanya bukti-bukti baru), hingga sekarang tetap saja terdapat beberapa pertanyaan yang tak pernah ada jawaban pasti. Pertanyaan itu bagai teka-teki soal Mangir, Seperti misalnya, benarkah KI Ageng Mangir  dibunuh Senopati dengan cara menghempaskan kepala Mangir di atas batu gilang atau dibunuh dengan tombak Kyai Pleret ataukah dibunuh oleh Pangeran Purubaya yang juga sebagai saudara iparnya dengan cara menusukkan tombak atau sebilah keris atas perintah Senopati. Sebuah tragedi yang menguras air mata ketika  Ki Ageng Mangir dan Pembayun yang sangat cantik menghadap Panembahan Senopati, pusaka KI Ageng Mangir yang terkenal Kyai Baruklinting dan Kyai Barukuping dilepas. Sebab menghadap raja tidak boleh membawa senjata.

Kekuasaan dan asmara selalu menghadirkan teka teki dan misteri di sepanjang unur dunia.  Dari kisah asmara Mangir dan Pembayun yang sering menarik perhatian masyarakat Jawa adalah kisah Pembayun menjadi penari ledhek, pengamen keliling dengan menari yang diikuti oleh sejumlah tokoh Mataram yang menyamar dengan nama-nama sandi.



Pada saat Ki Ageng Wanabaya bertemu dengan Retno Pembayun, mereka menyanyikan sebuah kidung:

Duh Pembayun / Pudyanku wong kuning/Cahyane mancorong/Gandhes luwes kenes wicarane/
Dhuh kakang paduka pundhen mami / Kawula sayekti bekti marang kakung//.




Salah satu jejak KI Ageng Mangir ada Di Kabupaten Madiun,  situs berusia ratusan tahun yang terongok begitu saja di lahan terbuka. Salah satunya adalah situs Mangiran yang terletak di kawasan hutan jati yang dikelola PT Perhutani di Desa Mangirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. diwilayah ini banyak diketemukan artefak-artefak  kuno berupa peralatan batu seperti Watu Gilang, Batu Yoni, peralatan Terakora, dan kepingan-kepingan  Keramik kuno.


Petunjuk untuk mencapai lokasi benda peninggalan Kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya itu cukup mudah. Cukup menempuh perjalanan sekitar 45 menit untuk menemukan tempat penampungan kayu (TPK) Saradan yang terletak di jalur Caruban-Nganjuk. Tepat di pinggir jalan terdapat jalan selebar empat meter. Jalur ini dulunya merupakan rute kereta pengangkut kayu peninggalan Belanda yang menjadi akses menuju lokasi situs. Sebelum sampai sana, ada sensasi saat melewati jembatan besi yang di bawahnya merupakan jalur kereta yang menghubungkan Madiun-Surabaya.

Ketika masuk area hutan jati, jalan hanya bisa digunakan untuk menyusuri menggunakan jalan setapak. Di situ, ditemukan jejak Pendopo Watu Gilang peninggalan Ki Ageng Mangir, yang dikenal sebagai orang yang berani melawan Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Hanya kawat berduri berbentuk segi empat sepanjang 5x10 meter yang dipasang untuk melindungi situs batu ini.

Kisahnya, meski tinggal di daerah Yogyakarta, Ki Ageng Mangir diperkirakan pernah menetap atau setidaknya mampir dalam jangka waktu tertentu di Saradan. Uniknya, sejak ditemukan hingga kini, situs berupa batu berbentuk melingkar yang dulunya digunakan Ki Ageng Mangir untuk beraudiensi dengan masyarakat masih utuh.

“Situs ini dijadikan tempat pertemuan agar pemimpin bisa dekat dengan rakyatnya,” kata juru pelestari Lambang. Dia memprediksi, melihat rangkaian situs yang tersebar di hutan, terdapat kehidupan warga pada abad ke-14 hingga 17 masehi dengan corak Hindu dan Islam.

Di luar Pendopo Watu Gilang, terdapat tumpukan batu yang diperkirakan peninggalan situs Kerajaan Majapahit. Situs ini terdiri, lingga, batu lumping, dan lesung yang fungsinya untuk menumbuk padi, umpak penyangga tiang rumah, batu bata berukuran besar berbentuk kotak dan bulat, dan berbagai ornamen pecahan arca dan puncak candi.

Lambang menjelaskan, semua artefak hanya ditaruh di papan terbuka, sehingga ada sebagian yang hilang dicuri orang. Dia tidak menemukan solusi untuk mengamankan berbagai situs bersejarah lantaran tidak ada tempat representatif untuk menyimpannya.
“Jumlah barang-barang kuno yang ditemukan bisa lebih banyak karena sebelumnya baru sebagian kecil wilayah hutan yang ditelusuri,” katanya.

Sekitar 200 meter ke arah barat dari Pendopo Watu Gilang, ada aliran sungai yang di sampingnya merupakan sumber mata air sendang yang merupakan salah satu petilasan Ki Ageng Mangir. Di kawasan yang masuk Dusun Pepe, Petak 19, Caruban itu, ada pemandian abadi berukuran 1,5x2 meter yang dibangun dari batu bata dengan kedalaman air tiga meter yang difungsikan sebagai tempat mandi khusus raja. Berjarak setengah meter, sedikitnya ada tujuh buah sumur kecil berdiameter 50 cm yang hingga kini belum diketahui fungsinya. Ancaman nyata beberapa situs itu, kata Lambang, selain tidak terawat, juga kawasan itu masuk ke dalam area jalur pembangunan tol Solo-Kertosono.

Jika tidak ada intervensi dari Pemda, ditakutkan satu per satu situs peradaban Madiun kuno akan hilang. “Situs ini harus dilindungi bagaimana pun caranya,” kata Joko Widodo, salah satu juru pelestari lainnya. Dia sangat miris, karena perawatan situs hanya mengandalkan dana sumbangan dari pengunjung yang tidak seberapa.



 foto-foto : Arif Gumantia, Aryo Kartono, dan Republika.







Komentar

Posting Komentar