Lebaran Kupat (Ketupat)...Laku Sing Papat.



Ada dua kali pelaksanaan Lebaran yang dirayakan  masyarakat Jawa pada umumnya, termasuk masyarakat  Madiun, yaitu Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah sepekan sesudahnya (8 Syawal). Ada yang menyatakan bahwa Lebaran Ketupat ini merupakan tradisi yang dimulai oleh Sunan Kalijaga, akan tetapi saya pernah membaca artikel dari  Pak Mahdud MD, bahwa tradisi lebaran ketupat ini dimulai oleh guru Sunan Kalijaga, yaitu Sunan Bonang, sebuah Piwulang yang diajarkan oleh Sunan Bonang.

Piwulang adalah sebuah kosa kata bahasa Jawa, yang secera sederhana bisa diartikan sebuah pelajaran yang diajarkan secara pararel dengan tingkah laku. Seperti pepatah jawa “ilmu iku kelakone kanti laku”, bahwa kita bisa memahami sebuah ilmu kehidupan apabila tidak berhenti hanya di dalam teori tapi juga dijalankan dalam perilaku keseharian kita.

Banyak kisah tentang Sunan Bonang, ada yang bisa ditelisik dengan ilmu sejarah, tapi ada juga yang berupa dongeng dari mulut ke mulut dan ada juga yang sekedar menjadi mitos. Tapi menurut saya bahwa kisah-kisah sunan boning dan para wali lainnya menarik karena bisa ditelisik baik secara historis maupun Histotik. Secara historis dengan pisau analisis ilmu sejarah, filologi, ataupun arkeologi. Dan juga secara Historik, yaitu mengambil sebuah Hikmah atau moral cerita yang ada dengan mengkomparasikan pada masa sekarang.

ketupat kalau dalam bahasa jawa namanya “kupat”. Menurut Sunan Bonang, kita harus berpuasa dengan ikhlas dan hanya mencari ridho Tuhan agar setelah puasa bisa menikmati kupat. “Kupat” adalah makanan khas saat lebaran. Berupa nasi putih yang di masak di dalam janur. “Janur” di sini adalah daun kelapa yang masih muda. Kupat adalah singkatan dari laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. Yaitu: Lebar, Lebur, Luber, dan Labur.

Lebar berarti telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan. Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, Luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya. Dan Labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah dan hatinya. Manusia akan bisa meraih “laku sing papat” jika bisa bersikap dan berperilaku lembut dan santun terhadap sesama umat tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidak- adilan. Masing-masing hati nurani kitalah yang dapat menentukan apakah kita berpuasa untuk meraih “laku sing papat” ataukah hanya sekedar basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh.
Sedangkan “janur” sendiri diartikan oleh beliau sebagai Jatining Nur, dalam pengertian kalau kita dapat berpuasa dengan penuh keyakinan dan keteguhan sikap (iman) dan penuh perhitungan serta kehati-hatian (ihtisaab) maka  pada bulan syawal kita akan mendapat jatining Nur.

Jatining nur inilah yang sejatinya di sebut fitrah. Memperoleh jatining nur berarti telah kembali ke Fitrah. Yang akan ditandai dengan perubahan perilaku dari yang semula tidak baik menjadi baik dan semula baik menjadi lebih baik lagi. Mereka yang kembali ke fitrah dengan “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah mereka yang tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak orang lain.






Karena dalam perintah ibadah apapun akan selalu ada 2 wajah islam. Yaitu wajah islam yang profetik ritual dan juga wajah islam dengan dimensi kesalehan secara social. Ada dimensi mikro kosmos dan makrokosmos, vertical dan horizontal. Dan ini tak bisa terpisahkan.


Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Komentar